
Saodor Ensemble hadir sebagai wajah baru musik Batak Toba—bukan untuk “mengubah” tradisi, melainkan menambah warnanya. Diprakarsai oleh seniman perempuan Batak (diaspora) Yessica Yosia Virginia Simanjuntak, kolektif ini menjembatani ekspresi, tubuh, rasa, dan teknologi untuk membaca ulang tradisi dengan bahasa artistik diaspora. Tahun 2025 menandai lonjakan pengakuan internasional: terkurasi di Classical:NEXT (Berlin) dan Undercurrent – Sound & Performance Art Festival (London).
“Musik tradisi saat ini sudah banyak secara linier dengan bahasa tradisi daerah asalnya. Namun bagaimana seniman diaspora yang tetap ingin terhubung ke tradisinya dengan pengalaman diaspora? Ini menarik, karena lanskap seni Indonesia yang beragam tidak bisa lagi dipetakan dari satu daerah. Bahasa diaspora juga menjadi isu penting.”
Mengapa Perspektif Diaspora Penting Hari Ini
Lanskap seni Indonesia kini tak lagi dapat dibaca hanya berdasarkan batas daerah asal. Mobilitas, pendidikan, dan jejaring global telah melahirkan generasi seniman diaspora yang menciptakan bahasa artistik baru, tanpa melepaskan akar tradisi.
“Musik tradisi saat ini sudah banyak secara linier dengan bahasa tradisi daerah asalnya. Namun bagaimana seniman diaspora yang tetap ingin terhubung ke tradisinya dengan pengalaman diaspora? Ini menarik karena lanskap seni Indonesia yang beragam tidak bisa lagi dipetakan dari segi satu daerah.”
Fenomena ini menandai pergeseran cara berpikir: tradisi tidak lagi statis, melainkan hidup melalui tafsir dan pengalaman lintas ruang. Dalam konteks musik, hal ini tampak pada bagaimana seniman diaspora menggunakan teknologi, komposisi eksperimental, dan kolaborasi lintas disiplin untuk membuka ruang interpretasi baru atas tradisi.
Siapa Saodor Ensemble
Saodor Ensemble adalah kolektif yang mengeksplorasi musik tradisional Batak Toba Sumatra Utara dari perspektif diaspora. Mereka menggarap karya lintas-medium—vokal, instrumen tradisi (mis. sulim Batak), instrumen Barat (piano), dan elektronik—untuk menciptakan berbagai kemungkinan suara yang unik, reflektif, dan komunikatif.





Visi & Karakter
- Riset sebagai fondasi. Setiap karya berangkat dari pengetahuan tradisi, arsip, hingga literatur etnomusikologi.
- Bentuk sebagai pengalaman ruang. Format panggung multi dimensional (spasial), jarak dekat dengan penonton, hingga tata cahaya yang menguatkan nuansa pertunjuakn.
- Kolaborasi sebagai ekosistem. Menghubungkan musisi, peneliti, dan komunitas diaspora untuk merakit produksi yang bermakna—bagi seniman maupun publik.
Capaian & Pengakuan (Selected)
- Classical:NEXT 2025 – Berlin. Terkurasi dalam platform showcase musik masa depan; membuka jejaring kuratorial Eropa dan memperluas wacana musik Indonesia di ruang global.
- Undercurrent – Sound & Performance Art Festival 2025 – London. Terkurasi sebagai special performer/satellite event, memperkenalkan “bahasa artistik diaspora Batak” kepada audiens ESEA dan komunitas seni eksperimen London.
Capaian ini bukan sebatas daftar festival. Ia menandai validasi kuratorial atas pendekatan diaspora—sebuah undangan untuk membawa isu perempuan dan pembaruan tradisi ke panggung internasional.
Cerita Seniman: Yessica Yosia Virginia Simanjuntak

Yessica lahir dari keluarga Batak Toba, tumbuh dewasa di Bali, dan menempuh S1–S2 di ISI Bali (studi penciptaan seni). Lokasi geografis membentuk cara pandangnya: mengagumi musik Batak dari kejauhan, dengan pengalaman lintas-budaya di Bali.
Posisi artistik Yessica lugas:
“Saya bukan bermaksud mengubah, tapi membuat musik Batak lebih berwarna.”
Kalimat ini penting. Ia memancangkan etika berkarya: bukan menyalin, bukan sekedar eksotisme; menambah, dan menawarkan kebaruan. Sebagai perempuan Batak (diaspora), Yessica mendorong percakapan tentang suara seniman perempuan, sekaligus memposisikan pengalaman diasporanya sebagai medium tafsir yang sah, peka, dan bertanggung jawab.
“Lungun”: Membaca Tradisi Andung di Panggung Kontemporer
“Lungun” adalah salah satu karya Yessica bersama Saodor Ensemble, pertunjukan suara yang terinspirasi tradisi andung, ekspresi ratapan duka dalam budaya masyarakat Batak Toba. Andung bukan sekadar genre vokal; ia adalah Doa: tangisan yang mengikat hubungan manusia, dan leluhur.
Bahasa Bunyi & Bentuk
- Vokal sebagai ekspresi suara tubuh: artikulasi, napas , dan fonem.
- Piano sebagai ruang harmoni: nada-nada di luar batasan teori musik Barat
- Sulim Batak menandai identitas timbre.
- Elektronik sebagai landskap: lapisan ambience, manipulasi ruang, penguatan resonansi yang menangkap sisa-sisa gema andung.
Dipentaskan dalam formasi spasial, “Lungun” memposisikan penonton sebagai audiens yang dekat—mengajak mengalami duka sebagai ruang bersama, bukan tontonan dari kejauhan.
Dua Lensa Kritis
- Isu perempuan. Andung kerap diartikulasikan oleh suara perempuan—dan “Lungun” mengembalikan sentralitas itu secara sadar. Yessica mengolah pengalaman batin, tubuh vokal, dan sensibilitas perempuan sebagai pusat penentu rasa.
- Bahasa diaspora. Cara dengar dan cara merespons andung dipengaruhi pengalaman hidup di Bali, jejaring seni kontemporer, serta paparan teknologi bunyi. Hasilnya bukan “reproduksi,” melainkan reinterpretasi—andung sebagai ingatan yang disuarakan ulang.
Pernyataan posisi artistik Yessica:
“Andung, ini kan jarang ya di tampilkan di atas panggung global. saya melihat andung ini sebagai sumber artistik yang berbeda dari yang lain. kalau angkat tentang topik Gondong, udah banyak. Lagi, saya punya ikatan dengan tradisi andung, karena saya pernah mengalami di keluarga saya sendiri. Hal yang penting adalah, tidak secara langsung bersentuhan dengan nada-nada diatonis, saya ingin musik lebih luas dari sekedar teori (Barat) yang masih mengikat. Saya juga pakai alat barat, kebetulan dari S1, studi saya adalah piano klasik, saya juga pakai instrumen taganing, tapi saya cari yang berbeda dari permainan pada umumnya, maka dari itu, kenapa cara saya memainkan piano menggunakan teknik memukul bagian senar, menggosok bagian senar. Penggunaan ritmis di taganing juga saya bikin beda, misalnya seperti teknik isorhythm, metamorfosis time (di musik minimalis seteve reich). menurut saya, cara itu membawa nuansa baru dalam musik Batak Toba. saya terinspirasi dari dosen-dosen saya di Bali (tradisi Gamelan Bali) yang sudah lebih jauh bersentuhan dengan teknik-teknik asing demikian.”
Bahasa Artistik Diaspora: Menambah, Bukan Menghapus
Mari luruskan: tradisi bukan monolit. Ia selalu bergerak mengikuti manusia yang memeluknya. Ketika seniman diaspora kembali menyentuh tradisi, ia membawa serta kota-kota tempat dia tumbuh, bahasa yang ia pakai sehari-hari, dan alat-alat artistik yang ia kuasai. Di sanalah bahasa diaspora muncul: sebuah logat baru dari bahasa lama.
Bagaimana bahasa itu bekerja?
- Pemetaan ulang timbre. Instrumen tradisi berdialog dengan elektronik; suara napas diolah sebagai tekstur; ketidak teraturan suara menjadi bagian dari komposisi.
- Bentuk panggung intim. Formasi melingkar menghapus jarak hierarkis, memulihkan rasa “berkumpul” yang melekat dalam ritus duka.
- Pilihan istilah & narasi. Alih-alih mengejar “otentik” secara sempit, karya diajukan sebagai kesaksian: pengalaman personal yang terhubung ke memori komunal.
- Kolaborasi lintas-komunitas. Mengundang musisi, peneliti, dan komunitas diaspora untuk berbagi materi, bahasa, dan arsip.
Penting dicatat: ada banyak seniman diaspora Batak lainnya. Masing-masing punya modus “bersentuhan” dengan budaya asal. Narasi Saodor tidak menutup; justru membuka percakapan: bagaimana kita, dari mana pun kita tumbuh, dapat merawat akar sambil menumbuhkan dahan.
Dampak & Rencana Saodor
Dampak Capaian Kuratorial (Berlin–London 2025):
- Legitimasi global. Seleksi di Classical:NEXT dan Undercurrent menunjukkan bahwa isu diaspora dan perempuan relevan di ekosistem musik masa depan.
- Akses audiens baru. Panggung Eropa menghadirkan penonton yang siap berdialog tentang identitas, migrasi, dan teknologi bunyi.
- Diplomasi budaya. Karya menjadi jembatan yang efektif—membawa Batak Toba ke ruang internasional tanpa menghilangkan nuansa lokalnya.
Langkah Berikutnya:
- Seri pasca-“Lungun.” Mengembangkan trilogi atau siklus karya yang memperluas riset andung: dari tradisi duka ke pertunjukan seni global-internasional.
- Tur mini & residensi. Menyusun format portabel (set akustik-elektronik efisien) untuk tampil di ruang alternatif: galeri, black box, community hall.
- Program pengetahuan. Artist talk, workshop suara Batak untuk komunitas diaspora, dan dokumentasi proses (audio-visual + catatan lapangan).
- Kemitraan strategis. Kolaborasi dengan kurator, universitas, dan organisasi budaya di Eropa/UK dan Asia Tenggara untuk memperkuat jaringan riset-penciptaan musik.
Penutup: Memetakan Ulang Musik Indonesia
Di tangan Saodor Ensemble, tradisi Batak Toba adalah warisan yang hidup dan bertumbuh. Diaspora memberi jarak yang justru memperjelas pandang, perempuan memberi rasa yang menjaga empati, dan teknologi memberi alat untuk menata kembali ruang dengar.
Yang lahir adalah musik yang akrab sekaligus baru: kita mengenali bayangnya—andung yang lirih—namun kita juga merasakan cara pandang lain yang menuntun telinga pada warna-warna yang sebelumnya jarang kita dengar.
Bukan soal mengubah; ini tentang memberi warna Baru. Dari warna-warna itulah peta musik Indonesia hari ini digambar ulang—multi-lokal, multi-bahasa, dan sepenuh hati.
